Rencana Tindak Penerapan SAK Entitas Privat pada BPR

Rencana Tindak Penerapan SAK Entitas Privat pada BPR

GUSTANI.ID - SAK EP akan berlaku efektif 1 Januari 2025 yang akan bersamaan dengan dicabutnya SAK ETAP. Salah satu entitas yang akan terdampak cukup signifkan adalah BPR dan BPRS. OJK selaku regulator sudah melakukan beberapa upaya untuk memastikan kesiapan BPR dalam implementasi SAK EP, baik melalui agenda sosialisasi, FGD, desiminasi, waorkshop, uji coba, dll.

Roadmap Penerapan SAK EP bagi BPR

Tahun 2017 - 2021

  1. Pembahasan Bersama DSAK IAI dan Tim Teknis dengan ditindaklanjuti Surat No.S-40/PB.113/2017
  2. Berbagai pembahasan OJK dengan asosiasi, DSAK IAI, IAPI dan perwakilan BPR
  3. Sosialisasi SAK EP oleh DSAK IAI kepada seluruh pengawas KR/KOJK
  4. Sosialisasi SAK EP oleh DSAK IAI kepada industri BPR/S dan asosiasi BPR/S
  5. Pembentukan Working Group (WG) beranggotakan OJK, IAI, IAPI, Asosiasi, Perwakilan BPR, dan KAP
  6. FGD WG :
  • a. Persiapan Teknologi Informasi BPR d/r Implementasi SAK EP
  • b. Persiapan Kebijakan dan Prosedur BPR d/r Implementasi SAK EP
Tahun 2022

  1. FGD Persiapan Pilot Project dan Uji Coba terkait KK CKPN
  2. Pilot Project Tahap 1 Perhitungan Impairment
  3. Pembahasan Hasil Pilot Project Tahap 1 Perhitungan Penurunan Nilai Aset Keuangan
  4. Pelaksanaan Uji Coba dan Uji Dampak Penurunan Nilai Aset Keuangan Dalam Rangka Kajian SAK EP bagi BPR
  5. Pembahasan PA BPR dan SAK EP bersama satker di OJK dan perwakilan BPR beserta Asosiasi BPR
Tahun 2023-2024
  1. Pemetaan dan Penyusunan Pedoman Akuntansi BPR
  2. Diseminasi dan workshop persiapan implementasi PA BPR terutama terkait penerapan CKPN kepada pengawas kepada 35 KR/KO dan BPR di 13 KR/KO
  3. Gap Analysis dan Model Development termasuk pembentukan metode impairment
  4. Pemantauan rencana tindak BPR
  5. Pengembangan infrastruktur di OJK dan industri
  6. Parallel Run penerapan CKPN
Tahun 2025
  1. Pemberlakuan efektif SAK EP untuk seluruh BPR per 1 Januari 2025
  2. Workshop dan evaluasi berkelanjutan atas implementasi SAK EP


Isu Signifikan 

Hasil FGD yang dilakukan oleh OJK terdapat beberapa isu signifikan yang menjadi konsen BPR dalam implementasi SAK EP, diantaranya:

  • Konsep perhitungan PD dan LGD (pemilihan metode, penetapan kategori signifikan, kecukupan hasil perhitungan)
  • Dampak data historis pasca covid terhadap pembentukan CKPN
  • Konsekuensi CKPN vs PPKA
  • Ketersediaan data untuk perhitungan LGD jika tidak ada data hapus buku
  • Pembentukan pencadangan lebih dini untuk antisipasi pembentukan CKPN yang besar
  • Penyajian kembali atas Laporan Keuangan Tahun 2025
Sedangkan dari sisi IT vendor core banking system, beberapa hal yang perlu menjadi concern:
• Persiapan lebih dini untuk approach vendor IT
• Penetapan kebijakan dan prosedur atas metode yang dipilih oleh BPR
• Pelaksanaan uji coba dan parallel run

Rencana Tindak BPR

Terdapat 4 poin rencana tindak implementasi SAK EP bagi BPR yang perlu dipersiapkan :

1. Infrastruktur Pendukung
  • Data dan informasi perkreditan yang valid dan reliable minimal selama 3 tahun
  • Aplikasi CBS yang dapat mengotomasi perhitungan CKPN baik secara individidual atau kolektif

2. Pengembangan Kompetensi SDM
Diperlukan pemahaman yang memadai mengenai konsep perhitungan CKPN bagi unit kerja terkait (Direksi, Perkreditan, Akunting, dan Pelaporan)

3. Kebijakan dan Prosedur
  • Penyusunan kebijakan dan prosedur perkreditan khususnya terkait pembentukan CKPN termasuk model dan kriteria evaluasi penurunan nilai
  • Penetapan risk management

4. Pementauan terhadap Implementasi
  • Pelaksanaan parallel run minimal selama 6 bulan sebelum implementasi penuh
  • Pemantauan terhadap tambahan beban pencadangan serta dampak terhadap kinerja keuangan

Tahap uji coba penerapan SAK EP bagi BPR yang dibuat oleh OJK adalah sebagai berikut:

• BPR melakukan uji coba perhitungan terhadap:
  1. Perhitungan EIR terhadap dampaknya
  2. Perhitungan CKPN terhadap dampaknya (tambahan cadangan yang dibentuk, indikator financial performance)
  3. BPR menyusun rencana tindak dan target realisasi terkait sistem
• BPR menyampaikan hasil uji coba kepada Pengawas KOJK
• Periode pelaksanaan uji coba:
1. Tahap pengolahan data oleh BPR: Januari 2024
2. Tahap penyampaian hasil uji coba: M1 -M2 Februari 2024
3. Tahap diskusi dengan Pengawas KOJK: M3-M4 Februari 2024

Ada pun timeline lebih detail rencana tindak BPR dalam implementasi SAK EP adalah sebagai berikut:




Rencana Tindak OJK


Sedangkan dari sisi OJK, sebagai regulator menyiapkan infrastruktur pendukung agar implementasi SAK EP bagi BPR berjalan dengan baik, berikut ini rencana tindak OJK:

1. Penyusunan Pedoman Akuntansi
  • Pembahasan dengan satuan kerja OJK, KAP, asosiasi, dan stakeholder lainnya.
  • Penerbitan SEOJK standar akuntansi dan pedoman akuntansi bagi BPR.

2. Penyempurnaan Regulasi terkait
Diperlukan penyelarasan dan penyesuaian terhadap ketentuan yang terdampak antara lain: kualitas aset, permodalan, dll.


3. Infrastruktur Pendukung
  • Capacity building bagi satuan kerja OJK dan recycling bagi BPR secara masif dan intensif.
  • Penyempurnaan infrastruktur pengawasan terkait (APOLO, SIP, penyediaan kertas kerja sementara).
  • Pembahasan dengan vendor IT pada BPR

4. Pemantauan Terhadap Implementasi
  • Koordinasi dengan pengawas KR/KOJK dalam rangka monitoring persiapan dan progress BPR dalam menyiapkan implementasi SAK EP.
  • Parallel run selama 6 bulan sebelum 1 Jan 2025


Semoga bermanfaat !

Sumber: Bahan Presentasi FGD Persiapan Implementasi SAK EP, Departemen dan Pengembangan Perbankan, 2023 



KONSULTASI PENERAPAN CKPN DAN SAK EP PADA BPR, BPRS, KSP, KSPPS BERDASARKAN SAK ENTITAS PRIVAT DAPAT MENGHUBUNGI SAYA DI 082357909050

Model Penurunan Nilai Kredit Berdasarkan SAK Entitas Privat

Model Penurunan Nilai Kredit Berdasarkan SAK Entitas Privat


GUSTANI.ID - Salah satu perbedaan paling signifikan antara SAK EP dan SAK ETAP adalah terkait model penurunan nilai aset keuangan. Pengaturan terkait penurunan nilai aset keuangan pada SAK Entitas Privat (SAK EP) diatur pada Bab 11: Instrumen Keuangan Dasar paragraf 11.21 - 11.32. Salah satu jenis aset keuangan adalah pinjaman yang diberikan seperti kredit yang diberikan oleh BPR dan Koperasi Simpan Pinjam. 

Penurunan nilai adalah suatu kondisi dimana terdapat bukti obyektif terjadinya peristiwa yang merugikan sebagai akibat dari satu atau lebih peristiwa yang terjadi setelah pengakuan awal kredit tersebut, dan peristiwa yang merugikan tersebut berdampak pada estimasi arus kas masa datang atas aset keuangan atau kelompok aset keuangan yang dapat diestimasi secara andal. 

PPAP vs CKPN

Penurunan nilai kredit dalam SAK ETAP dikenal dengan istilah Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) yang mengacu pada ketentuan regulator. Sedangkan dalam SAK EP menggunakan istilah Cadangan Kerugaian Penurunan Nilai (CKPN). 

PPAP merupakan role based yang mengacu pada POJK 33/2018 menetapkan tarif PPAP sebagai berikut:
  1. Lancar 0,5%
  2. Dalam Perhatian Khusus 3%
  3. Kurang Lancar 10%
  4. Diragukan 50%
  5. Macet 100%
PPAP lebih fokus pada kebutuhan regulator (regulator puposed) dengan kriteria yang hanya berfokus pada kualitas kredit dan jenis agunan yang dapat menajdi pengurang PPAP (one size fits for all). Formula perhitungan PPAP sebagai berikut:

% Kualitas kredit x Baki Debet - Agunan diperhitungkan

Sedangkan CKPN merupakan principle based dimana entitas mengembangkan model berdasarkan hasil evaluasi penurunan nilai, serta lebih fikus pada kebutuhan akuntansi (accounting purposed). Terdapat dua model pendekatan penilaian CKPN yaitu Individual (individual assessment) dan Kolektif (collective assessment)

Kriteria penilaian didasarkan pada bukti obyektif penurunan nilai, tingkat signifikansi, professional judgement, serta risk management. Kriteria penilaian berfokus pada kebutuhan kecukupan pencadangan berdasarkan credit risk (tidak berlaku one size fits for all). Adapun formulasi CKPN, berdasarkan model statistic yang dikembangkan oleh masing-masing BPR.

Evaluasi Penurunan Nilai - Individual

Bank wajib menentukan tingkat signifikansi kredit yang akan dievaluasi secara individual yang disertai dengan dokumentasi yang memadai yang harus dikaji ulang secara periodik. Dalam hal tidak terdapat bukti obyektif penurunan nilai dari kredit yang dievaluasi secara individual, maka kredit tersebut harus dimasukkan ke dalam kategori kredit yang akan dievaluasi penurunan nilainya secara kolektif. Dalam hal terdapat bukti obyektif penurunan nilai dari kredit yang dievaluasi secara individual namun tidak terdapat kerugian penurunan nilai, maka kredit tersebut tidak dimasukkan ke dalam kategori kredit yang akan dievaluasi penurunan nilainya secara kolektif. Contoh: ketika debitur berada dalam kondisi macet (tidak ada estimasi arus kas selain arus kas dari agunan), dimana nilai kini arus kas agunan sama dengan atau lebih besar dari nilai tercatat kredit.

Evaluasi secara individual didasarkan pada 2 konsep, yaitu:
a) estimasi jumlah kerugian kredit; dan
b) estimasi jumlah yang dapat diperoleh kembali (recoverable amount).

Estimasi jumlah kerugian kredit didasarkan pada seluruh informasi yang tersedia dan experienced credit judgement, serta memperhatikan berbagai faktor seperti:
  1. kekuatan finansial dan kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajiban (repayment capacity);
  2. jenis dan jumlah agunan;
  3. ketersediaan garansi; dan
  4. prospek usaha debitur di masa datang.
  5. Estimasi jumlah yang dapat diperoleh kembali didasarkan pada identifikasi arus kas masa datang dan estimasi nilai kini dari arus kas tersebut.

Metode Secara individual

Bank dapat menggunakan beberapa teknik untuk mengevaluasi penurunan nilai dan mengukur kerugian penurunan nilai, yaitu:

1) Discounted Cash Flow

Kredit yang telah mengalami penurunan nilai dicatat berdasarkan jumlah yang didiskonto (discounted value) dan bukan berdasarkan nilai buku, karena bank tidak akan dapat memperoleh kembali seluruh jumlah kredit yang telah diberikan kepada debitur. Jumlah yang didiskonto (discounted value) diperoleh dengan mengestimasi arus kas masa datang (mencakup pembayaran pokok dan bunga) yang didiskonto menggunakan suku bunga efektif awal dari kredit.

Untuk kredit bersuku bunga tetap, suku bunga kontraktual tidak berubah selama jangka waktu kredit. Oleh karena itu, suku bunga efektif dapat diidentifikasi setelah memperhitungkan seluruh biaya (termasuk perolehan fee) yang dapat diatribusikan secara langsung pada kredit. Suku bunga efektif tersebut tidak berubah dan digunakan untuk mengevaluasi kerugian penurunan nilai kredit.

Untuk kredit bersuku bunga mengambang (variable interest rate), dimana suku bunga kontraktual berubah dari waktu ke waktu bergantung pada suku bunga referensi, maka suku bunga efektif juga dapat berubah.
  • Bank harus menetapkan estimasi kisaran jumlah dan/atau waktu kemungkinan perubahan suku bunga referensi.
  • Namun, penggunaan suku bunga efektif yang berbeda dari waktu ke waktu dapat menyulitkan bank melacak terjadinya kerugian penurunan nilai.
  • Sebagai alternatif, bank dapat menggunakan suku bunga efektif terkini pada saat terdapat bukti obyektif terjadinya penurunan. Suku bunga efektif tersebut dapat digunakan dalam mengevaluasi penurunan nilai selanjutnya.
  • Pendekatan apapun yang digunakan, bank harus menerapkan secara konsisten dalam mengevaluasi penurunan nilai terhadap kredit dengan suku bunga mengambang.

2) Fair Value of Collateral

Kredit yang telah mengalami penurunan nilai juga dapat dicatat berdasarkan jumlah yang dapat diperoleh kembali (recoverable value). Dalam menentukan jumlah kredit yang dapat diperoleh kembali, bank dapat memperhitungkan arus kas masa datang dari pengambilalihan agunan, yaitu jika memenuhi salah satu kondisi berikut:
  • Kredit bersifat collateral dependent, yaitu jika pelunasan kredit hanya bersumber dari agunan;
  • Sulit untuk menentukan jumlah dan saat penerimaan arus kas masa datang yang berasal dari pokok kredit dan/atau bunga dengan andal; dan/atau
  • Pengambilalihan agunan kemungkinan besar terjadi dan didukung dengan aspek legal pengikatan agunan.
Bukti terbaik dari nilai wajar agunan adalah berdasarkan kuotasi harga di pasar aktif.
  • jika tidak tersedia kuotasi harga agunan di pasar aktif, maka bank dapat menggunakan harga dari transaksi terkini atas agunan serupa; dan
  • jika tidak tersedia harga dari agunan yang serupa, maka bank dapat menggunakan teknik penilaian yang andal.
Bank harus menggunakan informasi yang tersedia untuk mengestimasi nilai wajar agunan seakurat mungkin, termasuk perkiraan waktu realisasi atau penjualan agunan tersebut. Nilai agunan yang dapat diperhitungkan adalah nilai yang terendah antara nilai wajar dan nilai pengikatan agunan.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengestimasi nilai wajar agunan antara lain:
  1. Penunjukkan pihak independen (baik pihak internal bank maupun lembaga penilai) yang akan melakukan penilaian agunan;
  2. Identifikasi taksiran biaya yang terkait dengan penjualan agunan, misalnya legal costs;
  3. Identifikasi nilai agunan yang dapat direalisasi setelah memperhitung kan taksiran biaya penjualan;
  4. Penetapan waktu penjualan/realisasi agunan; dan
  5. Penetapan nilai kini dari hasil penjualan/realisasi agunan dalam hal terdapat jeda waktu (time lag) antara tanggal penentuan nilai wajar dan waktu penjualan/realisasi agunan.
Beberapa standar minimum yang harus dipenuhi dalam melakukan estimasi nilai wajar agunan mencakup:
  1. Deskripsi mengenai proses penilaian (appraisal process) yang dilakukan;
  2. Rincian penyesuaian terhadap harga penilaian (appraisal value), misalnya haircut/diskon atau estimasi biaya penjualan agunan;
  3. Penjelasan mengenai bagaimana bank memperoleh estimasi nilai wajar; dan
  4. Dokumentasi mengenai kualifikasi, keahlian, dan independensi perusahaan penilai (appraisal company).

3) Observable Market Price

Dalam kondisi dimana jumlah dan periode arus kas masa datang tidak dapat dipastikan dan kuotasi harga kredit di pasar aktif dapat diobservasi melalui informasi dan data pasar, maka harga pasar tersebut dapat digunakan sebagai nilai wajar kredit dengan memperhitungkan perkiraan waktu realisasi atau penjualan kredit tersebut. Pendekatan ini dapat digunakan untuk mengukur kerugian penurunan nilai, misalnya untuk kredit commercial real estate, dimana informasi dan data mengenai harga pasar properti tersebut tersedia setiap saat. Jika pendekatan ini digunakan, bank harus memiliki informasi yang lengkap mengenai jumlah, sumber informasi dan tanggal atas harga pasar tersebut.

Contoh CKPN Individual - Discounted Cash Flow

Outstanding kredit: Rp 100.000.000.000
Tenor: 24 bulan
Jenis kredit: investasi pembelian mesin
Bunga: 15% per annum
Provisi: 1% atau Rp 100.000.000
Angsuran pokok: semesteran
Angsuran bunga: bulanan
Biaya transaksi: Rp 20.000.000


Berdasarkan evaluasi periodik yang dilakukan bank, pada akhir September 2022 terdapat bukti obyektif terjadinya penurunan nilai kredit, yaitu kegagalan debitur membayar kewajiban bunga pada tanggal 30 September 2022. Berdasarkan bukti obyektif tersebut, bank melakukan kembali estimasi arus kas masa datang yang mungkin akan diperoleh yang selanjutnya didiskonto menggunakan suku bunga efektif awal untuk memperoleh nilai kini atas arus kas tersebut. Selisih kurang antara nilai tercatat kredit sebelum terdapat bukti obyektif penurunan nilai dan nilai kini estimasi arus kas masa datang merupakan cadangan kerugian penurunan nilai yang harus dibentuk.


EVALUASI PENURUNAN NILAI - KOLEKTIF

Evaluasi penurunan nilai terhadap kelompok kredit dilakukan berdasarkan estimasi arus kas kontraktual masa datang dan tingkat kerugian historis (historical loss rate atau historical net charge-off rate) dari kelompok kredit. Penetapan tingkat kerugian historis dapat dilakukan dengan menggunakan metode statistik berdasarkan internal loan grades masing-masing bank. 

Perhitungan tingkat kerugian historis secara statistik menggunakan parameter berikut:




Probability of Default, yaitu tingkat kemungkinan kegagalan debitur memenuhi kewajiban, yang dapat diukur berdasarkan beberapa pendekatan, antara lain Migration Analysis, Roll Rates, Vintage Analysis, dan Default Rate. Umumnya yang digunakan adalah metode migration analysisi dan roll rate.

Roll Rates Analysis menggunakan internal loan grading system. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan menganalisis tingkat kerugian kredit pada setiap periode tunggakan (deliquency stage). Selanjutnya, tingkat Probability of Default (PD) dan Loss Given Default (LGD) dihitung berdasarkan asumsi bahwa pada kondisi hapus buku, PD dan LGD adalah sebesar 100% atau tidak akan tertagih (default). Namun, apabila berdasarkan data historis dapat diestimasi secara andal, bahwa bank dapat menagih sebagian porsi kredit yang sudah dihapusbuku (write-off) dimaksud, maka persentase PD dan LGD untuk kredit tersebut harus dikurangi dengan persentase tingkat pengembalian (recovery rate). Selanjutnya, tingkat PD dan LGD pada kondisi hapus buku tersebut digunakan untuk menghitung tingkat kerugian pada setiap periode tunggakan.

Dalam Roll Rates/Net Flow beberapa hal yang perlu diperhatikan:
  • Tingkat kemungkinan debitur gagal memenuhi kewajiban dilihat dari perpindahan kredit ke bucket yang lebih buruk dari bulan ke bulan selama periode waktu tertentu. Untuk mendapat nilai yg tidak bias bank dapat menggunakan 3 tahun periode data.
  • Pertama, bank harus menetapkan bucket berdasarkan jumlah hari tunggakan misalnya kredit dengan 0 hari tunggakan, 1 -30 hari tunggakan, 31 -60 hari tunggakan, dst sampai dengan bucket terburuk dalam portofolio kredit.
  • Bank juga perlu memetakan perpindahan kredit sampai dengan kredit tersebut dilakukan hapus buku untuk melihat behavior dari setiap kategori berdasarkan risiko atau karakteristik kredit serupa
  • Mekanisme perhitungan dilakukan dengan perkalian antara bucket yg lebih baik pada periode t dengan bucket yg lebih buruk pada periode t+1 secara kumulatif.
  • Probability of Default maksimal bernilai 100%

Migration Analysis menggunakan internal loan grading system (rating system) dan bukan berdasarkan pengalaman kerugian sebagaimana halnya pendekatan Historical Loss Rate. Pendekatan ini dilakukan dengan menganalisa tingkat migrasi outstanding kredit dari grade tertinggi ke grade terendah.

Migration Analysis
  • Tingkat kemungkinan debitur gagal memenuhi kewajiban dilihat dari perpindahan kredit ke bucket yang lebih buruk dari tahun tertentu ke 1 tahun berikutnya. Untuk mendapat nilai yg tidak bias bank dapat menggunakan 3 tahun periode data.
  • Praktik secara umum, bank menetapkan bucket berdasarkan kualitas kredit yaitu kualitas 1 s.d. 5, data hapus buku, dan data penerimaan kredit.
  • Mekanisme perhitungan PD menggunakan perkalian joint probability untuk sebuah bucket berbasis pada transition rate yang berada pada bucket yang lebih buruk di bawah bucket yang akan dihitung PDnya
  • PD yang akan digunakan untuk perhitungan CKPN adalah rata-rata PD yang diperoleh dari transisi historis di masing-masing bucket.
  • Probability of Default maksimal bernilai 100%

Loss Given Default, yaitu besarnya tingkat kerugian yang diakibatkan kegagalan debitur memenuhi kewajiban, yang dapat diukur berdasarkan beberapa pendekatan, antara lain Expected Recoveries, Collateral Shortfall, dan Loss on Disposal.

Expected Recoveries
Metode ini didasarkan pada rata-rata tingkat pengembalian (recovery rate) yang didapat dari kredit yang telah mengalami default/hapus buku.

Langkah-langkah:
  1. Kumpulkan data hapus buku dan tingkat pengembalian yang berhasil ditagih oleh bank
  2. Recovery rate = tingkat pengembalian/total hapus buku
  3. LGD = 1 – recovery rate
Collateral Shortfall
Metode ini didasarkan pada rata-rata tingkat penjualan agunan yang didapat dari kredit yang telah default termasuk proyeksi nilai agunan untuk kredit default yang akan diselesaikan dengan penjualan agunan.
Apabila tingkat penjualan agunan lebih kecil dari jumlah kredit yang harus diselesaikan, maka selisihnya merupakan kerugian bagi bank (LGD).


KONSULTASI SEPUTAR PENERAPAN CKPN PADA BPR, BPRS, KSP, KSPPS BERDASARKAN SAK ENTITAS PRIVAT DAPAT MENGHUBUNGI SAYA DI 082357909050
10 Jenis Resiko Bank Syariah

10 Jenis Resiko Bank Syariah



GUSTANI.ID - Meskipun sama-sama bergerak di sektor perbankan, bank syariah memiliki perbedaan yang khas dari bank konvensional, salah satunya adalah dalam hal penerapan prinsip syariah. implikasi perbedaan tersebut dapat terlihat dari kemungkinan resiko yang akan dihadapi. Berdasarkan POJK 65 tahun 2016, bank syariah memiliki 10 resiko yang harus dikendalikan, sedang dalam POJK 18 tahun 2016, bank konvensional hanya memiliki 8 risiko. Tambahan 2 risiko merupakan turunan dari bisnis yang dijalankan oleh bank syariah dan tidak terdapat pada bank konvensional yaitu sistem bagi-hasil pada akad syirkah. Penerapan akad syirkah bank syariah mengakibatkan bank syariah memiliki risiko imbal hasil dan risiko invetasi.

Berikut ini 10 risiko yang melekat pada bank syariah yang mesti diketahui :

1. RISIKO KREDIT

Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak  lain  dalam  memenuhi  kewajiban  kepada  Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati, termasuk Risiko Kredit akibat kegagalan debitur, Risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk.

Risiko konsentrasi pembiayaan merupakan Risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam kelangsungan usaha Bank.

Counterparty credit risk merupakan Risiko yang timbul akibat terjadinya kegagalan pihak lawan dalam memenuhi kewajibannya dan timbul dari jenis transaksi yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya transaksi yang dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau nilai pasar.

Settlement risk merupakan Risiko yang timbul akibat kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date) yang telah disepakati dari transaksi penjualan dan/atau pembelian instrumen keuangan.

2. RISIKO PASAR

Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga  pasar, antara  lain  Risiko  berupa  perubahan  nilai  dari  aset  yang dapat diperdagangkan atau disewakan.

Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko benchmark suku bunga (benchmark interest rate risk), Risiko nilai tukar, Risiko komoditas, dan Risiko ekuitas. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko komoditas dan Risiko ekuitas wajib diterapkan oleh Bank yang melakukan konsolidasi dengan Perusahaan Anak.

Risiko komoditas adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book dan banking book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas.

Risiko ekuitas adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book yang disebabkan oleh perubahan harga saham 

3. RISIKO LIKUIDITAS

Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas  tinggi  yang  dapat  diagunkan,  tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank.

4. RISIKO OPERASIONAL

Risiko Operasional adalah Risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau  adanya  kejadian  eksternal  yang mempengaruhi operasional Bank.

5. RISIKO HUKUM

Risiko  Hukum  adalah  Risiko  akibat  tuntutan  hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Risiko Hukum timbul antara lain karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna.

6. RISIKO REPUTASI

Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan  pemangku  kepentingan  (stakeholder)  yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank. Risiko Reputasi timbul antara lain karena adanya pemberitaan media dan/atau rumor mengenai bank yang bersifat negatif, serta adanya strategi komunikasi bank yang kurang efektif.

7. RISIKO STRATEJIK

Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan  dan/atau  pelaksanaan  suatu  keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.

Risiko Stratejik timbul antara lain karena bank menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan analisis lingkungan stratejik yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat ketidaksesuaian rencana stratejik (strategic plan) antar level stratejik. Selain itu, Risiko Stratejik juga timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar, dan perubahan kebijakan otoritas terkait.

8. RISIKO KEPATUHAN


Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank  tidak mematuhi  dan/atau  tidak  melaksanakan  peraturan perundang undangan  dan  ketentuan  yang  berlaku  serta Prinsip Syariah.

9. RISIKO IMBAL HASIL

Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah Risiko  akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan Bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima Bank dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank.

Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) timbul antara lain karena adanya perubahan perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank yang disebabkan oleh perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil yang diterima dari Bank. Perubahan ekspektasi bisa disebabkan oleh faktor internal seperti menurunnya nilai aset Bank dan/atau faktor eksternal seperti naiknya return/imbal hasil yang ditawarkan bank lain. Perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil tersebut dapat memicu perpindahan dana nasabah dari Bank kepada bank lain.

10. RISIKO INVESTASI

Risiko  Investasi  (Equity  Investment  Risk)  adalah  Risiko akibat  Bank  ikut  menanggung  kerugian  usaha  nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil baik yang  menggunakan  metode  net  revenue  sharing  maupun yang menggunakan metode profit and loss sharing.

Risiko Investasi (Equity Investment Risk) timbul apabila Bank memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil kepada nasabah dengan Bank ikut menanggung Risiko atas kerugian usaha nasabah yang dibiayai (metode profit and loss sharing). Dalam hal ini, perhitungan bagi hasil tidak hanya didasarkan atas jumlah pendapatan atau penjualan yang diperoleh nasabah namun dihitung dari keuntungan usaha yang dihasilkan nasabah. Apabila usaha nasabah mengalami kebangkrutan maka jumlah pokok pembiayaan yang diberikan Bank kepada nasabah tidak akan diperoleh kembali. Sementara perhitungan bagi hasil juga dapat menggunakan metode net revenue sharing yakni bagi hasil dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal.

PRODUK & JASA

KOLOM SYARIAH

KEISLAMAN

SERBA SERBI

AKTIVITAS PELATIHAN

AUDITING

AKUNTANSI SYARIAH

SEPUTAR AKUNTANSI