Beberapa kali video itu saya ulang. Memperhatikan raut wajah pelaku saat kejadian. Kemudian dibandingkan dengan saat meminta maaf. Baik pda kasus parodi lagu Aisyah, prank sampah, tiktok shalat dan beberapa masalah sejenis. Saat peristiwa itu usai, pelaku seperti baru tersadar.
Keywordnya adalah kata sadar. Sadar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah merasa, tahu, ingat, mengerti dan siuman. Berarti, saat peristiwa itu terjadi pelaku tidak sadar. Sedang mengalami euforia; perasaan ekstrim, tidak rasional, pada emosi. Itu bisa terlihat pada pada raut wajah, body language, diperjelas lagi dengan beberapa ungkapan, "Saya akan menyerahkan diri jika follower tiga puluh ribu", atau, "Salah saya apa? Kucingnya kan masih hidup".
Betapa sosial media perlahan-lahan mengganggu kesadaran orang, jika tidak ingin disebut merusak kesadaran. Ketika masuk ke alam sosial media, orang menjadi sangat-sangat, sangat gagah melebihi Kevin Cosner dalam Dances Withانتبهوا
walau kenyataannya macam Tok Labu menjemur kain. Bisa sangat senang, atau sangat marah, atau sangat puitis. Tidak normal. Seperti terpukau, terhipnotis.
Salah satu misi kedatangan Islam adalah menjaga kesadaran. Oleh sebab itu Islam mengharamkan khamar karena bisa menghilangkan kesadaran. Islam mengajarkan manusia agar sadar atas segala tindakannya. Saat terjaga dari tidur, ia benar-benar sadar. Bukan antara sadar dan tidak. Kesadaran itu diuji dengan ucapan yang keluar dari mulutnya, "alhamdulilladzi ahyana ba'da ma amatana wa ilaihin nusyur (segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami yang sebelumnya mematikan kami. Kepada-Nya kami akan kembali)".
Ketika ke toilet, ia benar-benar sadar bahwa kaki yang masuk terlebih dahulu adalah kaki kiri dengan doa khusus. Saat minum, ia sadar bahwa tangan yang ia gunakan adalah tangan kanan. Per putaran waktu ia disadarkan. Sadar saat terbit fajar. Sadar saat matahari mulai naik. Sadar saat matahari tergelincir. Sadar saat matahari mulai redup. Sadar saat matahari tenggelam. Sadar saat malam telah sempurna. Kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk ucapan, gerakan, ingatan dan doa dalam shalat-shalat wajib dan sunnat.
Bahkan lebih halus dari itu. Seorang muslim mesti sadar atas setiap hembusan nafasnya. Saat berkunjung ke Syaikh Muhammad Saifuddin al-Kurdi. Saya tidak melihat mereka memegang tasbih seperti lazimnya majelis zikir. Ntah Syaikh sadar dengan fikiran saya. Ia pun berucap, "Kami tidak lagi menghitung zikir dengan tasbih. Tapi tarikan dan hembusan nafas itu diisi zikir. Sehingga kita sadar".
Hidup ini sebenarnya baru sampai pada level mencari kesadaran. Puncak kesadaran itu adalah kematian. Itu yang terbersit dari ungkapan:
الناس نيام فاذا ماتوا انتبهوا
"Manusia itu tidur (tidak sadar), ketika ia mati, barulah ia terjaga (sadar)", ucapan Sayyidina Ali yang terpahat di nisan Annemarie Schimmel.
Ramadan mendidik kita untuk selalu sadar. Selalu waspada, takut tertelan sesuatu. Khawatir terpandang yang dapat membatalkan puasa. Sadar untuk tidak bicara aib orang lain. Puncak kesadaran saat puasa adalah ketika menjelang finish, benar-benar sadar dan dipastikan bahwa yang terdengar itu adalah azan maghrib dari masjid, bukan handphone.
Selamat buka puasa.
Sumber : FB ustadzabdulsomad_afficial
Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon