Sebuah kisah menggugah di abadikan dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala (Kisah para Tokoh
Brilian) tentang kedermawanan Utsman bin Affan sebagaimana yang dimuat oleh Ust
Syamsuddin Hatta dalam websitenya www.indonesiaoptimis.com.
Dikisahkan pada waktu itu rombongan kaum Muhajirin baru pada masa awal-awal
hijrah mendiami Madinah. Kebutuhan air di kota tersebut pun meningkat pesat.
Keterbatasan jumlah sumur sumber mata air menyebabkan air menjadi barang yang
sangat mahal dan sulit dicari. Bahkan ada sebuah sumur milik seorang laki-laki
dari Bani Ghifar, yang secara khusus menjual satu qirbah (kantong dari kulit)
air dengan satu mud makanan atau setara dengan dua setengah liter. Orang-orang
berdesakan mengantri untuk membeli air dari sumur tersebut, dengan makanan di
tangan yang tak seberapa dan wajah diliputi kecemasan.
Melihat hal ini Rasulullah SAW merasakan keprihatian
yang mendalam. Beliau mendekati sang pemilik Sumur dan menawarkan jual beli
terbaik yang diimpikan hampir setiap mereka yang beriman . Beliau menawarkan :
“ Maukah Anda menjual sumur itu kepadaku dengan ganti sebuah mata air di surga
? “. Laki-laki tadi tampak bingung untuk menerima atau menolak tawaran
Rasulullah SAW. Mata air di surga tentulah dirindukan, namun ia sendiri melihat
kondisi keluarganya yang kekurangan. Penghasilan dari sumur itu satu-satunya
sementara ini yang bisa ia andalkan. Maka ia pun menyampaikan kepada Rasulullah
SAW : “ ya Rasulullah, aku dan keluargaku tidak memiliki aset produktif lagi
selain sumur itu ... “. Rasulullah SAW pun tak bisa berbuat banyak. Tawaran
mata air di surga nampaknya saat itu bukan solusi efektif bagi mereka yang
sedang kekurangan. Beliau berlalu dengan masih menyimpan kegelisahan.
Nampaknya tawaran Rasulullah SAW pada pemilik sumur itu
di dengar oleh Utsman bin Affan, entrepreneur muda kaya raya nan mulia. Ia
melihat peluang kebaikan terbentang di hadapan, dan segera menyambutnya dengan
cepat. Di datangi laki-laki pemilik sumur dari bani Ghifar itu, lalu tanpa ragu
Utsman menawarkan untuk membeli sumur itu dengan harga kontan sebesar 35.000
dirham. Jumlah yang setara pada hari ini mencapai 2,5 Milyar. Bapak tadi
menyetujui harga tersebut, nampaknya ia mendapatkan modal yang cukup untuk
memulai usaha lain demi keperluan keluarganya. Nah, apa yang dilakukan sahabat
mulia Ustman bin Affan ?. Hak kepemilikan sumur itu kini ada di tangannya. Tapi
ia tak langsung mengumumkan kepada khalayak ramai baik untuk mewakafkan ataupun
menjual airnya dengan ganti satu mud makanan sebagaimana pemiliknya terdahulu.
Utsman bin Affan segera menemui Rasulullah untuk sebuah kepentingan bisnis
juga, kali ini bisnis investasi akhirat dengan keuntungan berlipat-lipat.
Dihadapan Rasulullah SAW, dengan malu-malu sebagaimana
ia dikenal, Utsman bin Affan bertanya memastikan diri, “ Ya Rasulullah, apakah
tawaranmu kepada pemilik sumur tadi juga berlaku ? “. Nampaknya Utsman
sedikit khawatir apakah tawaran ganti sumur tadi dengan mata air di surga itu
berlaku juga untuknya atau hanya pada sang pemilik awal dari bani Ghifar.
Mendengar hal ini Rasulullah SAW langsung mengiyakan : “ Betul ! “. Tawaran
mulia itu masih berlaku, Ustman bin Affan bahagia bukan kepalang, karena sebuah
mata air di surga kini ada dalam genggaman dengan jaminan dari Rasulullah SAW.
Maka ia pun bersegera menyatakan : “Sumur itu kini aku jadikan untuk
kepentingan kaum muslimin “. Beliau sukses mewakafkan sumur yang berlimpah air
itu, menjualnya dengan mata air di surga.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah diatas,
salah satunya adalah tentang kecerdasaran Ustman bin Affan dalam menangkap
peluang kebaikan. Selain itu pelajaran yang tak kalah pentingnya adalah
Rasulullah SAW menjadi penghubung / makelar kebaikan yang dilakukan Ustman bin
Affan. Mungkin beliau saat itu tidak memiliki kemampuan untuk membeli sumur
tersebut, namun Rasulullah SAW mampu menjadi inspirasi bagi sahabat Ustman bin
Affan untuk melakukan kebaikan. Dan pahala orang yang perantara kebaikan
seseorang adalah sama dengan orang yang melakukan kebaikan tersebut.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang membuat
jalan kebaikan dalam Islam, kemudian amalan tersebut tetap diamalkan
setelahnya, maka akan dituliskan baginya ganjaran pahala orang-orang yang
mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka. (HR.
Muslim)
Mungkin kita tidak memiliki kemampuan untuk zakat, namun dengan menjadi makelar orang lain untuk melakukan zakat, kita akan mendapatkan pahala sedekah.
Mungkin kita tidak memiliki kemampuan untuk sedekah, namun dengan menjadi makelar orang lain untuk melakukan sedekah, kita akan mendapatkan pahala sedekah.
Mungkin kita tidak memiliki kemampuan untuk wakaf, namun dengan menjadi makelar orang lain untuk melakukan wakaf, kita akan mendapat pahala wakaf.Subhanaallah dari makelar kebaikan tersebut kita bisa meraih pahala berlimpah dari orang yang melakukan kebaikan tersebut tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang melakukan kebaikan tersebut. Terlebih lagi jika kebaikan tersebut yang bersifat abadi seperti wakaf. Selama wakaf itu masih mengalirkan manfaat, maka pahala kebaikan tersebut juga akan mengalir kepada kita. Wallahu A’lam.
Kerenn
ReplyDeleteSemoga bermanfaat
Delete