Pemikiran
untuk melakukan merger diantara bank-bank syariah milik BUMN kembali
mengemuka. Keinginan memiliki bank syariah BUMN yang besar, kuat dan
efisien menjadi alasan utama, apalagi menghadapi era Masyarakat Ekonomi
Asean yang semakin dekat.
Keberhasilan merger beberapa bank BUMN sebelumnya yang menghadirkan
sebuah bank yang besar, kuat dan efisien menambah besar dorongan untuk
mengulangi keberhasilan yang sama diantara bank-bank syariah. Beberapa
keberhasilan merger bank-bank swasta yang juga kemudian menghadirkan
bank yang besar, kuat dan efisien menambah keyakinan kebaikan dan
manfaat merger bank syariah.
Namun keberhasilan merger harus didukung oleh banyak faktor yang
meliputi strategi konsolidasi, waktu konsolidasi, biaya konsolidasi, dan
yang paling penting kejelian dalam analsisis kesiapan bank yang akan di
merger.
Kimie Harada dan Takatoshi Ito, masing-masing peneliti Universitas
Chuo dan National Bureau of Economic Research AS, dalam kajian mereka
“Did Mergers Help Japanase Mega-Banks Avoid Failure?” menggunakan ukuran
Distance to Default untuk mengukur peningkatan efisiensi pada bank
hasil merger. Ada dua temuan penting mereka. Pertama, merger diantara
bank-bank yang lemah hanya akan menghasilkan bank yang lemah pula.
Kedua, dalam beberapa bank hasil merger, distance to default malah
memburuk.
Judith Montorial-Garriga, peneliti Bank Sentral AS di Boston, dalam
kajian bersama dengan European Central Bank “Bank Mergers and Lending
Relationships”, menemukan bahwa nasabah-nasabah peminjam berskala kecil
akan terabaikan dalam proses merger. Secara keseluruhan efisiensi
terasa dalam penurunan tingkat suku bunga bank hasil merger.
Charles Calomiris dan Jason Karceski, masing-masing profesor ekonomi
Universitas Columbia dan guru besar keuangan Universitas Florida, dalam
kajian mereka bersama National Bureau of Economic Research “Is the Bank
Merger Wave of the 1990s Efficient?” menemukan empat hal penting dalam
sembilan kasus merger bank di AS. Pertama, secara keseluruhan proses
merger menciptakan nilai tambah bagi industri perbankan. Kedua,
beberapa bank hasil merger mengalami kegagalan akibat penurunan drastis
pendapatan selama proses konsolidasi.
Ketiga, perilaku manajemen bank yang akan di merger menimbulkan
kenaikan biaya yang tidak perlu. Menaikkan gaji dan pangkat sebelum
merger agar mendapatkan posisi yang lebih baik setelah merger merupakan
salah satu fenomena yang terjadi. Keempat, sinergi pendapatan terwujud
walaupun tidak ada efisiensi biaya.
Jith Jayaratne dan Philip Strahan, masing-masing peneliti Compass
Lexecon dan peneliti National Bureau of National Economic, dalam kajian
mereka “The Benefits of Branching Deregulation”, menjelaskan
peningkatan efisiensi akibat aturan yang membolehkan ekspansi cabang
bank. Namun bank hasil merger yang memiliki cabang dengan lokasi
tumpang tindih merupakan tantangan yang tidak mudah.
Keberhasilan merger bank di Indonesia di masa lalu, misalnya,
didukung oleh kesabaran dan komitmen penuh pemegang saham dalam proses
konsolidasi yang luar biasa. Pertama, kredit macet dalam jumlah yang
signifikan dibersihkan dan ditangani lebih lanjut oleh BPPN. Hal ini
sangat penting agar konsentrasi manajemen terfokus pada upaya
konsolidasi proses meger tidak terganggu dengan beban masalah kredit
macet. Kedua, sejumlah besar surat berharga obligasi disuntikkan untuk
memperkuat modal bank yang memberikan arus pendapatan selama proses
konsolidasi berlangsung. Hal ini juga sangat penting untuk memberikan
ketenangan kepastian pendapatan dengan risiko sangat kecil mendekati
nihil.
Ketiga, sejumlah besar dana disediakan untuk memberhentikan kelebihan
karyawan akibat proses merger tersebut. Keempat, inefisiensi akibat
lokasi cabang yang tumpang tindih ditoleransi sampai waktu tertentu.
Kelima, sejumlah besar dana disediakan untuk rebranding, training ulang
dan pembentukan budaya perusahaan yang baru. Keenam, sejumlah besar
dana dialokasikan untuk menyamakan platform sistem teknologi.
Merger bank-bank syariah milik BUMN akan serta merta menurunkan laju
pertumbuhan industri perbankan syariah Indonesia selama masa konsolidasi
tiga sampai lima tahun. Padahal saat ini merupakan saat yang sangat
krusial bagi pertumbuhan laju perbankan syariah di Indonesia untuk
mengisi ruang-ruang potensi pasar sebelum diambil bank milik asing
dengan diberlakukannya MEA.
Alternatif lain adalah dengan menyiapkan strategi merger dua tahap.
Tahap pertama selama tiga tahun ini adalah dengan menetapkan target bagi
bank induk untuk membesarkan bank-bank syariah anak perusahaannya
masing-masing, mencapai misalnya, 20 persen dari asset induknya.
Tahap kedua adalah proses merger dan penambahan modal pemerintah atas
bank hasil merger tersebut. Ketika tahap pertama selesai, maka
bank-bank syariah milik BUMN tersebut telah sedemikan kuat dan besar
sehingga bank induk pun akan kesulitan memenuhi kebutuhan modalnya dan
modal anak perusahannya. Itulah saat yang tepat untuk melakukan merger
sekaligus penambahan modal pemerintah kepada bank hasil merger.
Merujuk pada model Distance to Default yang digunakan Kimie Harada
dan Takatoshi Ito, merger bank yang kuat menghasilkan bank hasil merger
yang kuat pula serta meningkatkan efisiensi operasinya. Pada saat itu,
bank syariah Indonesia bukan saja menjadi tuan di rumah di negeri
sendiri bahkan juga menjadi tuan rumah di Asia. Kejelian dalam menyusun
strategi merger bank syariah akan menentukan keberhasilannya.
Sayyidina Ali ra mengingatkan kebaikan yang tidak terorganisir akan
dikalahkan oleh keburukan yang terorganisir. Diperlukan kesabaran dalam
mengembangkan industri keuangan syariah. Ingatlah kisah Thalut ketika
kaum beriman yang jumlahnya sedikit dapat mengalahkan kaum yang
jumlahnya jauh lebih banyak. Ingat pula kisah perang Badar. Allah
mengingatkan “Berapa sering terjadi kaum yang sedikit dapat mengalahkan
kaum yang banyak dengan ijin Allah, dan Allah bersama orang-orang yang
sabar”.
Sumber: http://www.adiwarmankarim.com
Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon