Oleh : Agustianto
Mingka
(Ketua
Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Pascasarajana Keuangan
Syariah Universitas Indonesia dan Trainer
Iqtishad Consulting)
Hybrid Contracts sebenarnya bukanlah
teori baru dalam khazanah fikih
muamalah. Para ulama klasik Islam sudah lama mendiskusikan topic ini
berdasarkan dalil-dalil syara’ dan ijtihad yang shahih. Namun, dalam kajian
fikih muamalah di pesantren bahkan di Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang
banyak dibahas, karena belum banyak bersentuhan dengan realita bisnis di masyarakat. Pada masa kemajuan lembaga
keuangan dan perbankan di masa sekarang, konsep dan topic hybrid contracts kembali mengemuka dan menjadi teori dan konsep
yang tak terelakkan. Sejumlah buku dan karya ilmiah pun bermunculan membahas
dan merumuskan teori al-‘ukud
al-murakkabah (hybrid contracts)
ini, terutama karya-karya ilmiah dari Timur Tengah.
Tanpa memahami konsep
dan teori hybrid kontracts, maka
seluruh stake holders ekonomi syariah akan mengalami kesalahan dan
kefatalan, sehingga dapat menimbulkan kemudhratan, kesulitan dan kemunduran
bagi industri keuangan dan perbankan syariah. Semua pihak yang berkepentingan
dengan ekonomi syariah, wajib memahami dan menerapkan konsep ini, mulai dari
dirjen pajak, regulator (BI dan OJK), bankers/praktisi LKS, DPS, notaris, auditor, akuntan, pengacara,
hakim, dosen (akademisi), dsb. Jadi semua pihak yang terkait dengan ekonomi dan keuangan syariah wajib
memahami teori dan praktek ini dengan tepat dan dengan baik.
Setidaknya terdapat 10
alasan utama mengapa teori dan praktek hybrid contracts, perlu dan wajib diketahui terutama oleh praktisi
keuangan/perbankan syariah, regulator, pejabat pajak, pakar ekonomi Islam, DPS,
akuntan, notaries, auditor dan praktisi
hukum ekonomi syariah:
Pertama :,karena hybrid
contracts terkait dengan pajak. Banyak
produk perbankan dan keuangan syariah yang mengandung hybrid contracts, seperti Musyarakakah Mutanaqishah (MMq), Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik (IMBT), pembiayaan
take over, pembiayaan rekening koran, line facility, pasar uang syariah dengan commodity syariah dan masih banyak lagi.
Pejabat dirjen pajak harus memahami teori hybrid
contracts dengan tepat agar tidak salah dalam penagihan pajak. Demikian
pula para praktisi, akademisi dan
auditor, harus memahaminya agar mengetahui hubungan pajak dan praktik hybrid contracts,sehingga tidak terkena pajak
ganda.
Kedua, hybrid contracts terkait dengan akuntansi dan PSAK, karena
dari sekian banyak akad dalam sebuah produk pembiayaan, harus diketahui akad
mana yang dicatatkan dalam pembukuan. Dalam akad MMq misalnya, apakah akad
ijarah atau musyarakah yang dicatatkan, demikian pula dalam hybrid
contracts lainnya, seperti kafalah bil
ujrah pada L/C, hiwalah bil ujrah pada anjak piutang, wakalah bil ujrah pada
factoring, produk gadai yang mengandung tiga akad, rahn, qardh dan ijarah.
Apakah penerapan hybrid contracts
membutuhkan PSAK baru yang lebih relevan dengan teori hybrid contracts.
Ketiga, hybrid
contracts sangat terkait
dengan inovasi produk. Bank-bank syariah yang ingin mengembangkan dan
menginovasi produk harus memahami teori hybrid contracts agar bank syariah bisa
unggul dan dapat bersaing dengan konvensional. Dengan demikian, peranan hybrid
contracts sangat penting bagi insdustri perbankan dan keuangan. Jangan sampai
terjadi banker syariah menolak peluang yang halal karena kedangkalan keilmuan
tentang teori-teori pengembangan akad-akad syariah. Untuk itu teori hybrid
contracts harus digunakan dan difahami dgn baik agar bank syariah bisa lebih kreatif
dan inovatif dalam mengembangkan produk-produknya. Selain itu hybrid contracts
terkait dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum, karena itu praktisi
bank syariah mutlak harus memehami teori dan prakteknya
Keempat hybrid
contracts terkait dengan regulasi. Para regulator (Bank Indonesia dan para
direktur lembaga keuangan syariah di OJK)
harus memahami dengan baik teori dan praktek ini agar tidak salah dalam membuat
aturan. Kesalahan dalam membuat regulasi, akan berbahaya dan mengganggu pengembangan
bank syariah dan LKS.
Kelima hybrid contracts terkait dengan putusan hakim di Pengadilan, putusan
arbitrer di Basyarnas dan terkait dengan risiko hukum. Para hakim yang
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah wajib memahami ini. Berapa banyak putusan
pengadilan yang salah, akibat tidak memahami teori hybrid kontracts, contoh
kasus pembiayaan take over di Bukit Tinggi.
Maka pengacara syariah juga harus mengerti tentang teori dan praktik
hybrid contracts agar tidak salah dalam melihat akad akad yg serba hybrid,
seperti musyarakah mutanaqishah, pembiayaan take over, novasi, IMBT, dll
Keenam hybrid contracts terkait dgn struktur draft kontrak. Teori hybrid
contracts akan memandu (memberi pedoman) kepada legal officer dan notaris,
akad-akad apa saja yang bisa disatukan dalam satu draft perjanjian (kontrak)
dan akad-akad apa saja yang harus dipisahkan. Bahkan sampai kepada akad-akad
apa saja yang harus dinotarilkan dan akas-akad apa saja yang dibuat di bawah
tangan.
Ketujuh, hybrid contracts terkait dengan aspek syariah (syariah compliance). Apakah hybrid contratcs (multi akad) itu
mengandung riba atau gharar, apakah hybrid itu mengandung ta’alluq yang
diharamkan, apakah hybrid contracts itu termasuk akad bay’atain fi bay’atin atau shafqatain
fi shafqah. Bagaimana penafsiran para ulama tentang hadits itu. Apa dan
bagaimana dalil mereka?, Pendapat mana yang paling rajih (kuat) dan paling
maslahah. Bagaimana pula akad hybrid
yang muallaq), dsb. Semua pertanyaan itu dibahas secara tuntas dan mendalam
dalam workshop hybrid contracts.
Kedelapan, hybrid contracts terkait dengan biaya (cost) notaris. Kalau
notaries tidak memahami teori hybrid, maka semua akad-akad dalam satu produk,
akan dikenakan biaya, semakin banyak akad dalam satu produk, maka akan semakin
banyak biayanya. Misalnya produk pembiayaan take over terdiri dari 3 akad, MMq
terdiri dari 4 akad, IMBT terdiri dari 2 akad ditambah wa’ad, kartu kredit
terdiri dari 3 akad, gadai (bisa) terdiri dari 3 akad, ijarah bertingkat (dua
akad), begitu pula ijarah multijasa. Bahkan pembiayaan murabahah bisa terdiri dari
3 akad, murabahah, wakalah dan jaminan. Berhubung banyaknya akad dalam satu
produk, maka teori hybrid contracts ini harus difahami notaries dan legal officer
dengan baik.
Kesembilan, hybrid contracts terkait dengan hukum positif (harmonisasi)
dgn hukum positif. Hal ini termasuk masalah penting, karena banyak sekali
notaries yang salah faham tentang akad-akad syariah, karena tidak memahami
teori syariah tentang hybrid contracts. Hybrid contracts dirumuskan kadang
sebagai makharij (jalan keluar) untuk
mewujudkan sharia compliance yaitu agar kontraknya halal dan sesuai syariah, karena itu semua akad itu harus
dilaksanakan walaupun kelihatan seperti berputar (berbelit), tetapi semua itu
dimaksudkan untuk kepatuhan kepada syariah, Dalam prakteknya, terkadang tidak
semua akad-akad itu harus dinotarilkan sebagai akad otentik. Hal ini terjadi
misalnya dalam akad pembiayaan KPR melalui Musyarakah Mutanaqishah, termasuk
pembiayaan take over, instrument commodity syariah untuk pasar uang, pembiayaan
multiguna syariah, hedging dengan Islamic swap, dan sebagainya.
Kesepuluh hybrid contracts terkait dengan ke-simple-an dan efisiensi.
Tanpa memahami teori hybrid contracts selalu terjadi pemborosan (tenaga dan kertas)
dan pengulangan pasal-pasal perjanjian yang tidak perlu. Seringkai terjadi
format-format akad yang terlalu tebal, karena pasal-pasalnya berulang-ulang di
setiap judul akad, dan ini menimbulkan pemborosan tenaga, kertas, dan biaya lainnya, seperti yang telah
terjadi saat ini dimana praktisi perbankan memisahkan akad Musyarakah
Mutanaqishah dan ijarah, padahal keduanya bisa disatukan, sehingga lebih
efisien dan simple, Demikian pula pada pembiayaan take over, sindikasi dan
lain-lain sebagainya. SEKIAN ARTIKEL, Wallahu A’lam bis Shawab
sumber: inbok gmail yang dikirim oleh panitia worshop nasional hybrid contract
Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon