Oleh: Nurul Huda dan Ivo Sabrina
ZISWAF (zajat infak, wakaf, dan sedekah) sebagai instrumen keuangan
Islam bukanlah isu baru ketika ekonomi syariah menjadi lebih populis
saat ini. ZISWAF telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW, diikuti
di zaman Khulafa al Rasyidin dan seterusnya, hingga sekarang.
Zakat (sebagai bagian dari ZISWAF), ini menjadi sebuah sistem yang
berlaku dalam masyarakat secara umum, bisa kita gunakan penguatan unsur
nilai idealisme yang bekembang dalam masyarakat.
Ini berarti, yang dimaksudkan dengan “nilai zakat” ialah sifat
ketinggian zakat berasaskan kepada idealisme masyarakat. Berasaskan
kepada idealisme masyarakat dilihat dari sudut agama, politik, ekonomi
dan budaya. Sebagai hipotesis di lapangan masyarakat yang kurang
berminat dalam mengamalkan zakat dalam keuangan privatnya, bisa saja
disebabkan tidak mengetahui nilai yang terkandung dalam implementasi
zakat dalam mobilisasi ekonomi, yang sebenarnya dalam hidup mereka, baik
secara individu maupun bermasyarakat.
Bila kita tinjau sejarah zakat Indonesia mulai dari masa masa
penjajahan hingga era 1980-an, zakat belum berpengaruh signifikan
terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial ummat Islam
Indonesia dikarenakan pengelolaan zakat belum professional. Belum ada
sinergi dan belum menyentuh ranah Negara. Pengelolaan Ziswaf secara
professional dimulai di akhir 1980-an dan awal 1990-an merupakan masa
transformasi yang cukup signifikan dengan adanya perubahan paradigma
pengelolaan zakat, dari berbasis individual-tradisional menjadi berbasis
kolektif-profesional.
Pengelolaan dana zakat beralih dari ranah amal sosial-keagamaan juga
ke arah pemberdayaan-pengembangan ekonomi, ditandai oleh berdirinya YDSF
(Yayasan Dana Sosial Al Falah) pada 1987 dan Dompet Dhuafa Republika
pada 1993 dan BAZIS (Badan Amil Zakat) pemerintah pada 1994, pada 1997
berlanjut dengan pendirian Forum Zakat yang beranggotakan 11 lembaga
zakat sebagai wadah sinergi antar LAZ masyarakat dan antar LAZ dengan
BAZIS.
Setelah adanya gerakan positif dari lembaga zakat yang merupakan
swadaya masyarakat, pada tahun 1999 barulah pemerintah menjalankan peran
politiknya dengan disahkanya Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat no
38 tahun 1999, sebagai tindak lanjut UU no 38 tahun 1999, Pemerintah
mendirikan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dengan SK Presiden dan
mengesahkan 18 LAZNAS (Lembaga Amil Zakat Nasional) dengan SK Menteri
Agama.
Peran politik pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker)
tidak berhenti di situ. Pengesahan UU Pengelolaan Zakat dalam sidang
paripurna DPR pada 27 Oktober 2011 lalu telah menimbulkan kontroversi di
tengah-tengah masyarakat, khususnya di kalangan praktisi dan pegiat
zakat. Salah satu yang paling mendapat sorotan adalah pasal 18 dan 19
yang isinya tentang syarat pendirian Lembaga Amil Zakat dan kewajiban
melaporkan kondisi lembaga kepada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).
Zakat dan Tuntutan Agama
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang kelima. Tanpanya Islam
seseorang itu tidak sempurna. Yang tidak menunaikan zakat akan
menyebabkan kekufuran. Ini merupakan nilai-nilai yang ditegakkan oleh
agama sendiri dan dijunjung tinggi semua umat Islam.
Tetapi tidak semua orang wajib menunaikannya. Karena zakat terikat
pada beberapa syarat di antaranya: syarat nisab, yaitu kadar tertentu
yang membedakan di antara pemilik harta yang wajib zakat atau yang belum
wajib zakat.
Pada tahap ini nilai zakat dari perspektif agama mungkin berbeda-beda
dari satu individu ke individu yang lain dan dari satu masyarakat ke
masyarakat yang lain. Ada tiga pemahaman masyarakat terhadap penunaian
zakat. Salah satu pemahaman yang ada dalam masyarakat adalah; Pertama;
di kalangan mereka yang menganggap “nisab” sebagai syarat mutlak. Siapa
sudah memenuhi nisab maka dia wajib membayar zakat. Sebaliknya bagi
yang belum memenuhi nisab maka belum wajib zakat.
Kedua; Pandangan masyarakat yang lain bahwa “nisab” bukan
sekedar syarat, tetapi lebih daripada itu, pada konteks ini membayar
zakat dari pengumpulan harta merupakan suatu keinginan mutlak sehingga
dalam pencarian harta sekurang-kurangnya sampai tahap pemilikan nisab
zakat. Karena tanpa pemilikan nisab seseorang itu akan gagal menunaikan
rukun Islam yang kelima.
Tiga; Pemahaman masyarakat yang paling tinggi, beranggapan
zakat sebagai latihan atau orientasi agar manusia Muslim atau masyarakat
Islam menjadi masyarakat muzaki dan bukan penerima zakat (Mustahik).
Bagi mereka pada tingkat pemahaman ini zakat bukan sekadar rukun agama
yang dilaksanakan sebagai bukti keimanan, tetapi latihan wajib agar
seseorang itu terlatih mau berbagi dengan orang yang membutuhkan.
Pemahaman masyarakat Muslim terhadap kewajiban zakat yang berbeda
satu sama lain, merupakan tugas bagi para Amilin atau dalam hal ini
pemerintah sebagai pendorong sistem zakat untuk bergerak memantapkan
lagi ornamen zakat pada tataran kehidupan sosioekonomi dengan pondasi
yang kuat berkenaan atas nama agama. Di antara langkah-langkah yang
perlu distrategikan di antaranya menjadikan zakat sebagai sistem sosial
Islam yang bukan saja menyentuh soal akidah semata-mata tetapi juga
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat.
Langkah kerja ini tentu tidak mudah, bila pemahaman akan nilai-nilai
agama masih diangap sebagai urusan individu, untuk menjadikan zakat
sebagai sistem sosial akan menemui jalan buntu. Oleh kerana itu langkah
awal yang perlu disiasati dengan mempertegas kedudukan Islam itu sendiri
sebagai suatu sistem hidup yang lengkap dan bukan sekadar pegangan
tentang kehidupan akhirat semata.
Zakat dan Tingkatan Kedudukan Ekonomi
Kedudukan ekonomi di kalangan masyarakat juga memainkan peranan
penting dalam menentukan nilai zakat. Suatu masyarakat yang lebih tinggi
tahap pencapaian ekonominya tentu menganggap positif terhadap zakat.
Sebaliknya masyarakat yang pencapaian tingkat ekonominya rendah lebih
cendrung melihat zakat merupakan sesuatu sesuatu yang menyusahkan.
Rasulullah Saw pernah menegaskan bahwa kefakiran itu menjerumuskan
seseorang kepada kekufuran.
Maka usaha-usaha kearah pembangunan ekonomi masyarakat perlu dilihat
sebagai salah satu cara untuk meningkatkan lagi potensi dana zakat.
Institusi zakat juga mempunyai peran penting dalam menyalurkan dana
zakat yang ada bagi tujuan pengurangan kemiskinan. Harapannya agar
mereka yang dulunya miskin dan memerlukan sumbangan zakat (mustahik) itu
akan beralih menjadi pembayar zakat (muzakki) kerana sudah mencapai
tahap ekonomi yang memungkinkan sebagai Muzakki.
Hasrat Politik dalam penataan hukum posif zakat
Usaha mempertegaskan kedudukan Islam sebagai satu sistem hidup yang
lengkap banyak bergantung dengan perkembangan politik saat ini.
Menjadikan Islam sebagai sistem hidup dalam masyarakat dan negara saat
ini, tentu akan berhadapan dengan masalah. Malah mungkin dilihat
sebagai penentangan yang nyata terhadap dasar ideologi nasionalime dan
pluralisme.
Maka dengan demikian penegasan tentang kedudukan Islam sebagai dasar
hidup yang lengkap, pemerintahlah yang harus melakukannya dengan maksud
politik yang jelas. Ini tidak akan berhasil jika dianggap wacana atau
teori, sebaliknya, harus dengan usaha yang konkrit dan jelas. Misalnya,
mengemasnya dalam rancangan Undang-undang hukum positif. Sehingga zakat
dapat memberikan peranya dalam peningkatan ekonomi pada sektor sosial,
di samping peranan regulasi keuangan yang sudah tertata dalam hukum
positif seperti halnya Bank Indonesia dan Departemen Keuangan yang sudah
melakoni masing-masing peranannya dalam penataan ekonomi dan keuangan
nasional, yang selajutnya akan kami bahas lagi lebih rinci pada tulisan
berikutnya (Bersambung). Nurul Huda adalah Dosen FE-Yarsi,
Pasca UI,Paramadina,Azzahra dan Pengurus DPP IAEI serta MES sedangkan
Ivo Sabrina adalah Dosen STIE BI Syariah dan Pengurus KA-FoSSEI.
Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon