Oleh: Irawan Djoko Nugroho
Mata uang kuna dinar, dirham dan fulus banyak ditemukan di wilayah
Indonesia khususnya Jawa. Dinar adalah mata uang yang berbahan dasar
emas. Dirham merupakan mata uang berbahan dasar perak. Dan fulus
merupakan mata uang yang berbahan tembaga atau perunggu.
Mata uang tersebut berasal dari Jawa Kuna, Arab dan Cina. Beberapa
temuan itu misalnya: ditemukannya 6396 butir mata uang emas dan 600
butir mata uang perak di Plosokuning desa Wonoboyo, Kabupaten Klaten,
128 butir mata uang perak di Ngawen desa Batuputih, Kabupaten Temanggung
serta 60 mata uang perak di Banaran desa Banaran, Kabupaten Gunung
Kidul.
Dari semua mata uang yang ditemukan, mata uang Cina adalah mata
satu-satunya mata uang yang dibuat dari perunggu atau tembaga. Mata uang
Cina (fulus) di era Kesultanan Banten disebut dengan picis.
Mata uang ini juga disebut dengan caixa oleh orang Portugis yang artinya
tunai. Nilai mata uang Cina dibanding mata uang lain sangat rendah.
Dalam salah satu catatan Blusse (1988:65), pernah dicatat sebelum tahun
1596, nilai tukar satu real perak = 30.000 picis.
Sebab-Sebab Ditemukannya Banyak Mata Uang Kuno
Dalam catatan sejarawan Portugis awal yaitu Duarte Barosa, Jawa
dicatat merupakan eksportir utama dunia sebelum kedatangan bangsa Eropa
di Asia. Jawa bahkan melakukan perdagangan langsung ke wilayah
Tenasserim, Pegu, Bengal, Palicat, Coromandel, Malabar, Cambay, dan Aden
secara besar-besaran. Menurut sejarawan Turki Omar Thaib pada awal abad
17, perdagangan itu bukan hanya berakhir di Aden namun di Suez.
Barang-barang yang diekspor Jawa kala itu adalah: beras, daging
sapi, kambing, babi, menjangan yang dikeringkan dan diasinkan, ayam,
bawang putih dan merah, senjata baik tombak, belati dan pedang-pedang
yang dibuat dari campuran logam dan terbuat dari baja yang sangat bagus,
cazumba (Kasumba), juga emas. Perdagangan ini dilakukan melalui banyak
kapal Jung yang memiliki panjang 313 m.
Selain mengekspor, Jawa juga dicatat sejarawan Cina memiliki
gudang-gudang rempah-rempah lebih banyak dari negara-negara Asia
Tenggara. Ibn Battuta setelah melihat Pasai dan melihat Jawa mengatakan
bila Jawa memiliki gudang rempah-rempah dan pasar yang lebih besar
daripada Pasai. Kedatangan sejarawan Cina dan Ibnu Batutta ini
menunjukkan bila selain mengekspor, Jawa juga menjadi tujuan para
pedagang Arab dan Cina. Karena itu menjadi sebuah kewajaran bila
kemudian banyak ditemukan mata uang Arab dan Cina di Jawa.
Jenis-Jenis Transaksi
Penggunaan mata uang sebagai alat transaksi di Jawa Kuna dicatat
dalam banyak prasasti diantaranya untuk membeli binatang, barang, tanah
atau untuk membayar utang, membayar pajak serta untuk penggati biaya
upacara penetapan sima. Prasasti-prasasti itu misalnya Prasasti Jurungan
798 Saka. Prasasti Mamali 800 Saka. Prasasti Kiwu 829 Saka. Prasasti
Lintakan 841 Saka. Prasasti Kaduluran 807.
Mata uang yang digunakan dalam transaksi tersebut adalah mata uang
emas dan perak. Dalam tradisi Jawa Kuna, penggunaan mata uang emas
disebut inmas. Penggunaan mata uang perak disebut pinirak.
Mata uang tembaga atau perunggu dicatat di Jawa Kuna baru digunakan
pada abad ke-14. Dimana pada waktu itu para pedagang kecil Cina untuk
pertama kalinya mengadakan kontak hubungan langsung dengan Jawa.
Transaksi di Jawa Kuna terkait membeli binatang dan barang misalnya
adalah prasasti Jurungan 798 Saka. Di prasasti itu disebutkan sebagai
berikut. Wđihan bwat kling putih inmas mā 8 kbo inmas mā 10 weas pinrak mā 6 ‘bebed buatan Keling berdasar (pola) putih diemaskan 8 mā, kerbau diemaskan 10 mā, beras diperakkan 6 mā. Dari harga tersebut misalnya harga kerbau pada tahun 876 M di Jawa bila dikonversikan ke harga saat ini adalah sebagai berikut.
1 mā = 2,473 gram. 10 mā = 24,73 gram.
Mata uang Jawa Kuna pada masa lalu memiliki karat 18 dengan BD emas
19,2. Harga 1 gram emas 18 karat adalah USD 44.21 per 2 April 2012. Bila
1 $ per 2 April 2012 dihargai 9040 rupiah, maka harga 1 gram emas 18
karat = 399.658,4 rupiah. 10 mā emas = 24,73 gram = 24,73 gram x
399.658,4 rupiah = 9.883.552, 232 rupiah. Namun demikian kerbau ini
dapat dapat dikatakan kerbau yang kecil. Hal ini karena menurut Riboet
Darmosoetopo (2003: 70), harga kerbau yang besar seharga 1 su emas
(39,569 gram) atau 15.814.083,2 rupiah.
Dari keterangan itu dapat dikatakan bila penerapan syariah di
Indonesia dengan salah satunya penggunaan mata uang dinar dan dirham
sangat dimungkinkan kembali, karena memiliki landasan sejarah masa lalu.
Penulis adalah ahli sejarah dan wartawan ekonomi syariah dari
Tabloid Ibadah. Lulus dari Universitas Gadjah Mada sebagai ahli
Filologi, Irawan pernah menulis buku: "Meluruskan Sejarah Majapahit"
yang cukup mendapat perhatian kalangan sejarawan dan budayawan
Nusantara.
Mas Irwan, apa sampean sudah pake Dinar Dirham n fulus? Semoga ya.
ReplyDelete
ReplyDeleteSudah belajar Filolopi di UGEEM.
Lha mbok pake dijalankan tho yo.