Konsep
asuransi syariah hadir sebagai alternatif dari asuransi konvensional
yang diharamkan dalam Islam karena mengandung elemen riba, gharar (spekulasi) dan maysir (judi). Berbeda dengan asuransi konvensional yang dibangun di atas kontrak berbasis komersial (mu\'awadhat), kerangka konseptual asuransi syariah dibangun di atas prinsip saling menolong (ta\'awun), saling menjamin (tadhamun) dan saling menanggung (takaful).
Pada tataran teknis, para ulama menggunakan pendekatan akad-akad
dalam Islam yang sesuai dengan karakter asuransi syariah. Lahirlah
kemudian beberapa akad seperti tabarru\', mudharabah, dan wakalah, sebagai pijakan terbangunnya asuransi syariah. Akad tabarru\' digunakan untuk menunjukkan hubungan antara sesama peserta, sementara akad mudharabah dan wakalah dipakai untuk memperlihatkan hubungan antara peserta dan operator asuransi syariah. Sebagai wakil, operator mendapatkan kompensasi berupa fee, sementara sebagai mudharib, operator berhak atas bagi hasi sesuai dengan rasio keuntungan yang disepakati.
Akad-akad di atas kemudian membentuk beberapa model yang digunakan
oleh asuransi syariah, seperti model mudharabah dan model wakalah. Dalam
perjalananya, model-model di asuransi syariah tidak lahir secara
instan. Model-model tersebut dibangun dan dikembangkan oleh ulama dan
industri dengan pendekatan trial and error: satu model hadir
untuk mengganti atau pengembangan model lain sebagai sebuah proses
mencari format ideal untuk asuransi syariah. Tulisan ini mencoba
memotret evolusi model-model yang digunakan dalam industri asuransi
syariah.
Dari Model Mudharabah Ke Model Hybrid
Model mudharabah adalah model pertama yang dipakai dalam
operasionalisisi industri asuransi syariah, baik di Malaysia maupun di
Indonesia. Dalam model ini, operator berperan sebagai manajer (mudharib) sedangkan peserta adalah pemilik dana (rabb maal).
Dengan posisinya sebagai pengelola dana, operator akan mendapatkan
bagi hasi dari keuntungan investasi berdasarkan rasio yang disepakati.
Surplus, jika ada, akan dikembalikan semuanya kepada peserta. Ketika
terjadi defisit, operator disyaratkan untuk menyuntikkan dana dalam
bentuk qard hasan (hutang).
Model mudharabah, dalam formatnya yang masih genuine ini,
tidak cukup diminati oleh operator asuransi syariah. Ketiadaan hak
operator untuk mendapatkan bagian surplus membuat model ini tidak
terlalu menguntungkan menurut kalkulasi bisnis. Sebab itulah, model ini
mengalami pengembagan dan lahirlah pada tahapan berikutnya modified mudharabah model (model mudharabah yang dimodifikasi).
Berbeda dengan model mudharabah dalam bentuknya yang masih genuine,
melalui model ini, operator akan melakukan bagi hasil dari surplus,
bukan dari keuntungan investasi. Tekhniknya, profit dari aktifitas
investasi akan digabungkan ke dalam dana peserta, yang selanjutnya
digunakan untuk membayar klaim, penyisihan untuk reserve dan
kontribusi untuk reasuransi syariah. Sisanya adalah surplus yang akan
dibagi antara operator dan peserta berdasarkan rasio yang disepakati.
Dalam konteks ini, operator memperlakukan surplus sebagai profit.
Praktik model mudharabah dalam asuransi syariah memicu sederet kritik
dari banyak kalangan. Ayub (2008) mengatakan, konsep mudharabah sangat
cocok untuk model perbankan, tetapi tidak untuk asuransi. Penggunaan
akad mudharabah di asuransi syariah akan mencerabut karakter akad
mudharabah dari akarnya. Asuransi syariah dibangun di atas konsep tolong
menolong, sedangkan mudharabah adalah kontrak berbasis komersial: dua
kontrak dengan dua kutub yang berbeda dan tujuan yang berlawanan.
Penggunaan mudharabah ini akan melahirkan ambigu: mungkinkah secara syariah dana tabarru\' peserta pada saat yang bersamaan dianggap sebagai modal mudharabah (ra\'sul mÉl)? Sementara tabarru\' berkonsekwensi lepasnya kepemilikan peserta, dalam mudharabah, modal tetap menjadi milik rabb maal (peserta). Ketika terjadi defisit, apakah kewajibah operator untuk menyuntikkan dana dalam bentuk qard sesuai dengan konsep dasar mudharabah? padahal operator hanyalah pengelola yang tidak mesti menjamin keutuhan modal. Dalam modified mudharabah model,
pertanyaan tambahan bisa dilayangkan: apakah dalam Islam profit sama
dengan surplus? Padahal profit adalah keuntungan dari aktifitas
investasi sedangkan surplus adalah gabungan dari profit dan dan risiko (tabarru\')
setelah dikurangi biaya-biaya terkait. Bolehkan perusahaan asuransi
syariah berbagi surplus seperti yang dipraktikkan di asuransi
konvensional? dan sederet tanya lainnya.
Banyaknya isu syariah dan kritik terhadap model mudharabah mendorong
para ulama dan praktisi industri asuransi syariah untuk mencari
alternatif lain. Para ulama lalu memperkenalkan model berbasis wakalah.
Perusahaan asuransi syariah secara perlahan mulai meninggalkan model
mudharabah dan bergeser pada model wakalah. Dalam model ini, operator
bertindak sebagai wakil dari peserta untuk mengelola dana, baik dana
risiko maupun dana saving dan investasi. Sebagai kompensasinya, operator
akan mendapatkan fee sesuai dengan kesepakatan di awal kontrak. Surplus, jika ada, akan dikembalikan kepada para peserta.
Kendati demikian, model wakalah dalam bentuknya yang masih genuine ini juga kurang menarik minat operator. Menurut kalkulasi bisnis, model ini kurang profitable karena operator hanya mendapatkan fee. Maka model ini pun dikembangkan dan lahirlah apa yang disebut dengan modified wakalah model (model wakalah yang dimodifikasi). Melalui model ini, operator, di samping berhak untuk mendapatkan fee berdasarkan akad wakalah, juga akan mendapatkan bagian surplus atas dasar ju\'alah atau performance fee.
Pada awal diperkenalkanya model modifikasi ini, operator asuransi
syariah di Malaysia mengambil sampai 90% surplus, hanya 10% yang
dikembalikan kepada peserta. Kondisi ini juga terjadi dan dipraktikkan
di Saudi Arabia bahkan sampai saat ini. Tetapi banyaknya kritik terhadap
praktik pengambilan surplus yang cenderung eksploitatif dan tidak
berdasar mendorong Bank Negara Malaysia mengeluarkan aturan pengambilan performance fee
yang diterjemahkan dalam Takaful Operational Framework (TOF). Dalam
aturan ini, operotor hanya berhak mengambil bagian maksimal 50% dari
surplus. Sisanya dikembalikan kepada peserta.
Pembagian \"kue\" surplus atas dasar performance fee dalam modified wakalah ini juga tidak lepas dari sorotan banyak pihak. Pasalnya, penetapan performance fee
didasarkan pada kemampuan operator dalam mengelola dana risiko. Basis
penetapan model ini akan susah diukur karena dengan mudah bisa
dimanipulasi. Misalnya, untuk menghasilkan surplus yang besar, klaim
dari peserta dipersulit, penyisihan reserve dipersedikit, atau porsi reasuransi dikurangi. Banyak kalangan menilai, akan lebih fair jika performance fee
didasarkan pada kemampuan operator dalam mengelola dana investasi.
Ambil contoh, jika operator berhasil menghasilkan profit di atas 10%,
maka kelebihan dari target itu akan menjadi hak operator.
Cerita realita bahwa pembagian surplus dalam modified wakalah menuai banyak sorotan mendorong para ulama dan pelaku industri kemudian mengembangkan sebuah model baru yang dikenal dengan hybrid model: sebuah model kombinasi antara akad mudharabah dan akad wakalah. Model ini banyak digunakan khususnya pada asuransi keluarga (family takaful) di mana dana peserta dibagi menjadi dua bagian: sebagian untuk dana risiko (tabarru\'), sebagian lainnya untuk dana saving dan investasi.
Dalam hybrid model, operator menggunakan akad wakalah untuk mengelola dana risiko dan berhak atas fee. Sementara untuk pengelolaan dana investasi, kontrak yang digunakan adalah mudharabah.
Sebagai kompensasi, operator akan mendapatkan bagi hasil dari profit
investasi sesuai dengan rasio yang disepakati. Dalam model ini, isu
surplus tidak mengemuka. Karena surplus akan dikembalikan semuanya
kepada peserta.
Kendati demikian, pendekatan hybrid model ini pun bukan berarti menyelesaikan problem. Pasalnya, akar masalah sebenarnya terdapat pada penggunaan konsep tabarru\'. Tabarru\' dalam asuransi syariah diterjemahkan bukan dalam format idealnya: peserta wajib melakukan tabarru\' jika ingin mendapatkan indentifikasi (iltizam bit tabarru\'); atau dengan kata lain, peserta hanya akan ber-tabarru\' jika mendapatkan identifikasi di kemudian hari (hibah bi thawab). Kondisi ini lalu melahirkan kesimpulan banyak pihak: konsep tabarru\' dengan model seperti di asuransi syariah kurang pas karena akan menggeser asuransi syariah dari akad berbasis sosial (tabarru\'i) ke akad berbasis komersial (mu\'awadhat).
Rumitnya menetapkan model yang menjadi konsensus semua pihak dalam
industri asuransi syariah mendorong para ulama dan peneliti terus
melakukan eksplorasi dan kajian untuk menemukan model yang paling pas,
baik secara syariah maupun secara kalkulasi bisnis. Mufti Taqi Utsmani
mengembangkan model waqf yang dikombinasikan dengan akad wakalah. Model ini secara sukses dikembangkan di Pakistan dan Afrika Selatan.
Dalam model waqf, shareholder menginisiasi pembentukan dana waqf, diikui oleh peserta dengan membayar donasi dan dimasukkan ke dalam dana waqf. Operator diangkat sebagai wakil untuk mengelola dana waqf dan berhak atas fee. Dana waqf lalu diinvestasikan. Hasil investasi, setelah dikurangi bagian operator atas dasar performance fee, dimasukkan kembali ke dalam dana waqf. Semua biaya-biaya klaim, penyisihan reserve dan reasuransi syariah diambilkan dari dana waqf. Sementara surplus dikembalikan kepada dana waqf. Lagi-lagi, model waqf ini pun tidak serta merta lepas dari kritik. Ini karena sejatinya dana waqf
bisa dimanfaatkan oleh yang kaya dan utamanya yang memerlukan. Tetapi
pada praktek di asuransi syariah, hanya orang-orang kaya (baca: peserta)
yang berhak menikmati dana waqf.
Saat ini para peneliti sedang melakukan eksplorasi kemungkinan diterapkannya model wadiah yad dhamanah (titipan dengan jaminan). Mereka meyakini, walaupun belum dilakukan testing pasar dan belum memiliki sejarah kesuksesannya, model ini mampu mengatasi isu surplus dan tabarru\'.
Kalangan lain menilai bahwa model terbaik dalam asuransi syariah
adalah model yang diajarkan oleh Rasulullah dalam dua hadithnya
mengenai konsep tanahud yang diterjemahkan dengan istilah musharakah ta\'awuniyyah.
Alaa kulli haal, perjalanan asuransi syariah masih panjang
dan berliku. Banyak masalah dan isu-isu syariah yang mesti dilaluinya.
Model-model operasional asuransi syariah masih menyisakan seabrek
pekerjaan rumah bagi semua kalangan, utamanya para ulama, peneliti dan
industri. Sebab itu, penelitian dan kajian yang intensif mutlak
diperlukan untuk menghadirkan sebuah model ideal yang menjadi landasan
pijak dari operasional asuransi syariah: sebuah model yang menjadi
jembatan tercapainya maqashid syariah. Wallahu a\'lam .(Opini dalam artikel ini adalah pendapat pribadi dan tidak mesti merefleksikan pandangan ISRA).
mahbubi@isra.my
http://www.go-sharing.com |
|
|
Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon